Rabu, 14 Desember 2011

ASKEP stenosis pilorik


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Banyak kelainan kongenital dan perinatal saluran cerna yang dapat menyebabkan obstruksi parsial atau total. Sebagian besar obstruksi akan melibatkan rectum, anus atau duodenum, hanya sebagian kecil saja yang mengenai usus halus. Kami akan membahas salah satu kelainan-kelainan yang penting pada system pencernaan yaitu stenosis pilorik.
Stenosis pylorus terjadi kira-kira pada 1 diantara 150 bayi laki-laki dan 1 diantara 750 bayi perempuan, dan lebih sering terjadi pada bayi laki-laki anak pertama. Pengaruh keturunan jelas terdapat pada sekitar 15% pasien, tetapi tidak ditemukan suatu pola keturunan tertentu.

B.     TUJUAN PENULISAN

1.      Untuk mengetahui pengertian dari stenosis pilorik.
2.      Untuk mengetahui etiologi stenosis pilorik.
3.      Untuk mengetahui patifisiologi stenosis pilorik.
4.      Untuk mengetahui manifestasi klinik pilorik.
5.      Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik stenosis pilorik.
6.      Untuk mengetahui penatalaksanaan medis pada klien stenosis pilorik.
7.      Untuk mengetahui proses keperawatan pada klien stenosis pilorik.






C.     SISTEMATIKA PENULISAN

·         Kata pengantar
·         Daftar isi
·         Bab I        : Pendahuluan
·         Bab II      : tinjauan teori
·         Bab III     : Proses keperawatan
·         Bab IV     : Penutup
·         Daftar pustaka















BAB II
TINJAUAN TEORI
A.    PENGERTIAN

Stenosis pilorik adalah penyempitan di bagian ujung lambung tempat makanan keluar menuju ke usus halus. Akibat penyempitan tersebut, hanya sejumlah kecil isi lambung yg bisa masuk ke usus, selebihnya akan dimuntahkan sehingga anak akan mengalami penurunan berat badan. Gejala tersebut biasanya muncul pada usia 2-6 minggu.

B.     ETIOLOGI

Penyebab stenosis pilorik tidak diketahui, tetapi ada kecenderunganfaktor konginetal ikut berperan. Factor didapat mungkin terlibat dalam pathogenesis terbentuknya lesi.

C.     PATOFISIOLOGI
Suatu hipertropi dan hyperplasia otot polos antrum lambung yang difus akan menyempitkan lumen sehingga mudah tersumbat. Bagian antrum akan memanjang, menebal menjadi 2 kali ukurn normal dan berkonsistensi seperti tulang rawan. Penebalan otot tidak hanya terbatas pada suatu kumpulan serabut otot sirkuler yang terpisah yaitu sfingter pylorus, tetapi meluas ke bagian proksimal ke dalam antrum dan ke bagian distal berakhir pada permulaan duodenum. Sebagai respons terhadap obstruksi lumen dn paristalik yang kuat otot lambung akan menebal (hipertrofi) dan mengembang (dilatasi). 
D.    MANIFESTASI KLINIS

*      muntah proyektil mulai umur 2-3 minggu, dan tidak berwarna hijau ( nonbilious vomiting), Terkadang dijumpai muntah berwarna hijau dan dapat pula muntahan bercampur darah oleh karena adanya iritasi pada mukosa lambung.
*      Timbul 30-60 menit setelah makan dan minum
*      Setelah muntah kelihatan selalu masih lapar dan rakus bila diberikan minuman
*      Bayi senantiasa selalu menangis sesudah muntah dan akan muntah kembali setelah makan. Hal ini disebabkan karena obstruksi pylorus.
*      Penurunan berat badan yang disertai dengan penurunan turgor kulit merupakan tanda adanya dehidrasi.
*      Konstipasi merupakan gejala yang sering muncul karena sedikitnya jumlah cairan yang melalui pilorus menuju usus halus.
*      Anak juga tampak gelisah dan terus menangis.

E.     PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Ø  Pemeriksaan radiologi yaitu dengan barium meal maka akan tampak saluran pilorus kecil dan memanjang yang disebut “string sign“
Ø  Pada fluoroskopi tampak pengosongan lambung terlambat, lambung tampak membesar dan jelas terlihat gambaran peristaltic.
Ø  Pada pemeriksaan ultrasonografi, tampak gambaran dougnat sign atau target bull eye sign.
Ø  USG
·         Penebalan pylorus dg central sonolucent area
·         Diameter pylorus  > 14 mm
·         Penebalan mucosa > 4 mm
·         Panjang > 16 mm


F.      PENATALAKSANAAN MEDIS

v  Pembedahan
Pembedahan yang dilakukan adalah pyloromiotomi dengan angka kematian kurang dari 1 persen. Untuk mencegah terjadinya keadaan yang berulang residif, piloromiotomi harus dilakukan tuntas dengan cara seluruh bagian otot pylorus yang hipertropi dibelah, termasuk sebagian otot di bagian proksimal.
Komplikasi pasca operasi dapat terjadi perdarahan, perforasi dan infeksi luka operasi. Perforasi duodenum atau lambung merupakan penyulit yang berbahaya sebab adanya suatu kebocoran enterik dapat menyebabkan nyeri, peregangan perut, demam dan peritonitis, bahkan dapat terjadi sepsis, kolaps vaskuler dan kematian. Jika terjadi perforasi harus dilakukan perbaikan dan diberi antibiotika. Pada CHPS piloromiotomi merupakan pilihan utama. Apabila dikerjakan dengan tepat maka prognosisnya baik dan tidak akan timbul kekambuhan.

v  Penatalaksanaan non bedah ( terapi obat )
Tanpa pembedahan penyembuhan lambat (2-8 bulan), angka kematian lebih tinggi, dan biaya rawat inap tinggi. Serta dampak yang kurang menguntungkan terhadap perkembangan emosi akibat perawatan yang lama di rumah sakit. Pengobatan secara medis penyembuhannya biasanya berlangsung lambat.
Untuk terapi obatnya yaitu dengan sulfas atropin intra vena :
o   Dosis awal 0,4 mg/kg bb/ hari
o   Ditingkatkan 0,1 mg/kg bb/hari tiap 8 hari sampai muntah mereda
o   Dilanjutkan atropin oral selama 2 minggu

Selain itu dibutuhkan pula obat-obatan penenang, anti tikolinergik dan cairan parenteral.

v  Terapi nutrisi
Pada pasien post operasi pemberian makanan per oral mulai diberikan 4-6 jam pasca bedah, setelah 24 jam intake penuh diperbolehkan, Pada pasien non bedah diberikan makanan kental dicampur tepung dan diberikan dengan porsi yang sedikit tapi sering. Selama kira-kira 1 jam setelah makan, bayi dipertahankan dalam posisi setengah duduk.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A.    PENGKAJIAN

1.      Identitas
·         Identitas klien
·         Identitas penanggung jawab

2.      Riwayat kesehatan
·         Keluhan utama
·         Riwayat kesehatan sekarang
·         Riwayat penyakit dahulu
·         Riwayat penyakit keluarga

3.      Riwayat tumbuh kembang
·         Riwayat prenatal
·         Riwayat neonatal

4.      Pemeriksaan fisik
a)      Keadaan umum
·         Kesadaran
·         TTV
b)      Pengukuran umum
·         Pengukuran tinggi badan
·         Pengukuran berat badan
·         Pengukuran lingkar kepala


c)      Head to toe
·         Daerah kepala dan leher
·         Dada (thorax)
·         Abdomen
o   Inspeksi : kesimetrisan, karakteristik permukaan, adanya lesi, kontur umbilikus.
o   Palpasi : palpasi ke empat kuadran nyeri tekan +/-, splenomegali +/-, hepatomegali +/-.
o   Perkusi : untuk mengetahui bunyi yang di hasilkan abdomen dengan cara di ketuk pada setiap kuadran.
o   Auskultasi : untuk mengetahui bising usus.
·         Genetalia
·         Ekstremitas

B.     Diagnosa keperawatan
1.      Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi b.d adanya mual muntah
2.      Gangguan kebutuhan eliminasi b.d konstipasi karena kurangnya jumlah cairan yang melalui pylorus menuju usus halus.
3.      Cemas b.d kurangnya pengetahuan.

C.     INTERVENSI

Dx 1 :

-          Tujuan : Dalam 2x24 jam gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi teratasi
-          Kriteria hasil :Intake nutrisi klien meningkat dengan porsi yang sedikit tapi sering, muntah tidak ada.
-          Intervensi
·         Kaji pola nutrisi klien dan perubahan yang terjadi.
·         Timbang berat badan klien.
·         Kaji factor penyebab gangguan pemenuhan nutrisi.
·         Lakukan pemerikasaan fisik abdomen (palpasi,perkusi,dan auskultasi).
·         Berikan diet dalam kondisi hangat dan porsi kecil tapi sering.
·         Kolaborasi dengan tim gizi dalam penentuan diet klien.
Dx 2 :
-          Tujuan : dalam 2x24 jam gangguan kebutuhan eliminasi dapat teratasi.
-          Kriteria hasil : kebutuhan eliminasi klien terpenuhi dengan konsistensi normal.
-          Intervensi :
·         Kaji frekuensi pola eliminasi klien
·         Kurangi  makanan yang mengandung serat

Dx 3:
-          Tujuan : Dalam 1x24 jam pengetahuan keluarga meningkat
-          Kriteria hasil : Keluarga klien mengeri dengan proses penyakit klien, ekspresi wajah tenang, keluarga tidak banyak bertanya lagi tentang proses penyakit klien.
-          Intervensi :
·         Kaji tingkat pendidikan keluarga klien.
·         Kaji tingkat pengetahuan keluarga tentang proses penyakit klien.
·         Jelaskan tentang proses penyakit klien dengan melalui penkes.
·         Berikan kesempatan pada keluarga bila ada yang belum dimengertinya.
·         Libatkan keluarga dalam pemberian tindakan pada klien.






BAB IV
PENUTUP

v  Kesimpulan
Pylorus Hipertrofi Stenosis Kongenital (Congenital Hypertrophyc Pyloric Stenosis (CHPS)) adalah salah satu kelainan bedah anak yang menyebabkan muntah pada neonatus. Terjadi pada 2-3 per 1000 kelahiran. Kelainan berupa hipertrofi otot sirkuler pilorus yang terbatas. Hal ini menyebabkan penyempitan kanal pylorus oleh kompresi lipatan-lipatan longitudinal dari mukosa dan pemanjangan pylorus. Obstruksi apertura gastrik menyebabkan muntah yang nonbilious dan menyemprot. Muntah merupakan tanda kegagalan proses pengosongan lambung yang mengakibatkan dehidrasi yang makin berat, gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan asam basa, penurunan berat badan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar